Tornado vs Puting Beliung

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa Puting Beliung merupakan salah satu bencana hidrometeorologi yang paling sering terjadi di Indonesia. Tanggal 21 Februari 2024, kejadian puting beliung signifikan melanda wilayah Rancaekek, Bandung. BNPB mencatat setidaknya 172 unit rumah rusak berat, 316 unit rumah rusak sedang, dan 689 rumah rusak ringan akibat angin puting beliung tersebut. Sebanyak 47 orang terluka, di mana 25 orang terluka di Kabupaten Sumedang dan 22 orang di Kabupaten Sumedang dan Bandung. Beberapa pihak ada yang berasumsi bahwa pusaran angin di wilayah tersebut merupakan fenomena tornado. Benarkah demikian? Lantas apa yang membedakannya dengan puting beliung? Artikel ini menjelaskan perbedaan antara Tornado dan Puting Beliung, meskipun keduanya merupakan sama-sama fenomena pusaran angin di daratan. Definisi dan mekanisme pertumbuhan tornado diuraikan dengan mengklasifikasikan tornado ke dalam beberapa kategori berdasarkan tinjauan literatur.

Secara umum, tornado diartikan sebagai kolom udara yang berputar dengan cepat dan memanjang dari permukaan bumi menuju dasar awan. Biasanya, kolom udara ini mengandung debu atau serpihan yang bergerak berputar di permukaan jika terjadi di darat, atau membentuk semprotan air jika terjadi di atas permukaan laut atau danau. Namun, definisi ini terasa terlalu umum dan tidak cukup jelas untuk menggambarkan bagaimana tornado sebenarnya terbentuk. Oleh karena itu, Badan Meteorologi Dunia (WMO) mengklasifikasikan tornado ke dalam tiga kategori berdasarkan jenis awan induk dari mana tornado tersebut berasal.

1. Tornado Tipe I : Tornado yang berasal dari awan supercell.
Supercell adalah jenis awan badai yang dikendalikan oleh satu sirkulasi udara besar. Awan supercell merupakan awan tunggal sehingga memungkinkannya untuk memanfaatkan udara di lingkungan tanpa bersaing dengan awan yang lain. Ada dua komponen utama untuk suatu awan badai dapat berkembang, yang pertama arus udara naik, yang dalam dunia meteorologi dikenal sebagai updraft dan yang kedua adalah windshear. Windshear dalam meteorologi adalah ketika terjadi perubahan mendadak dalam kecepatan atau arah angin dalam jarak yang pendek. Yang membedakan awan supercell dengan awan badai lainnya adalah keberadaan suatu pusaran besar dalam awan itu sendiri, yaitu mesosiklon. Mesosiklon ini dihasilkan oleh updraft dan windshear yang kuat. Windshear yang updraft yang kuat umumnya ditemukan di daerah pertemuan massa udara yang kontras atau yang dikenal sebagai front. Itu sebabnya, awan supercell umumnya terjadi di AS bagian tengah dimana terdapat daerah pertemuan massa udara hangat dan lembab dari Gulf Stream dengan massa udara dingin dan kering dari pegunungan Rockies. Awan supercell tidak pernah terbentuk di Indonesia karena negara ini terdiri dari banyak pulau dengan daratan yang relatif kecil. Massa udara cenderung homogen di sebagian besar wilayahnya. Meskipun terkadang terjadi intrusi massa udara dingin dari Australia selama musim dingin di sana, pertemuan ini tidak cukup untuk menyebabkan pembentukan awan badai yang signifikan di Indonesia. Faktor lainnya adalah kurangnya pegunungan yang cukup tinggi di wilayah seperti Bali, NTB, dan NTT yang dapat membantu dalam pengangkatan dua massa udara, seperti yang dilakukan oleh pegunungan Rockies di Amerika Serikat.

2. Tornado Tipe II : Tornado yang berasal dari quasi-linear convective systems (QLCS).
Quasi-linear convective systems (QLCS) atau squall line adalah formasi awan badai yang terdiri dari sekelompok besar awan badai petir (Cumulonimbus) yang terorganisir dalam garis yang panjang. Di AS, sebanyak 21% tornado dihasilkan oleh sistem ini. Proses pembentukan tornado awan ini dihasilkan oleh dua mekanisme. Yang pertama, tornado yang terbentuk dari keberadaan mesosiklon seperti yang ada pada supercell. Yang kedua adalah karena ketidakstabilan geseran horizontal. Ketidakstabilan geseran horizontal dalam pembentukan tornado dapat dijelaskan dalam istilah yang lebih sederhana sebagai berikut: Bayangkan angin bertiup dengan kecepatan atau arah yang berbeda pada ketinggian yang berbeda di atas tanah. Ketika angin ini berinteraksi, terutama ketika terjadi perubahan kecepatan atau arah yang cepat dalam jarak yang pendek secara horizontal, maka akan menciptakan ketidakstabilan di udara. Ketidakstabilan ini dapat menyebabkan udara mulai berputar atau berputar secara horizontal. Dalam kasus pembentukan tornado, rotasi horizontal ini dapat diperkuat dan berubah menjadi vertikal oleh kondisi cuaca lainnya, seperti udara hangat yang naik dengan cepat dari tanah. Gerakan vertikal ini kemudian mengarah pada penciptaan corong tornado. Jadi, ketidakstabilan geseran horizontal adalah salah satu faktor penting yang berkontribusi pada gerakan berputar awal yang akhirnya terbentuk menjadi tornado.

3. Tornado Tipe III : Tornado yang bukan berasal dari awan supercell maupun QLCS.
Tornado tipe III biasanya terjadi di bawah awan cumulus yang sedang tumbuh, terutama di daerah dengan angin vertikal yang stabil. Berbeda dengan tornado dari badai besar seperti supercell, tornado jenis ini berasal dari pusaran udara kecil yang sudah terbentuk sebelum pembentukan awan cumulus/cumulonimbus di dekat permukaan tanah. Pembentukan pusaran ini terjadi ketika adanya perubahan arah angin secara tiba-tiba (windshear). Pusaran udara ini sering terbentuk di daerah pertemuan atau konvergensi angin, misalnya di perbatasan antara angin laut dan angin darat. Proses pembentukan tornado tipe III harus juga didukung oleh pemanasan permukaan yang meningkatkan aliran udara naik (updraft) secara signifikan. Tornado tipe III dikenal sebagai waterspout jika terjadi di perairan dan landspout jika terjadi di daratan. Di Indonesia, tornado tipe III ini sering dikenal sebagai puting beliung.

Klik disini jika halaman pdf dibawah ini di tampil